Selasa, Desember 23, 2008

Merry Xmas & Happy New Year

Selengkapnya...

Rabu, Desember 03, 2008

Happy (Belated) Birthday

Selengkapnya...

Sabtu, November 29, 2008

Mengerjakan yang Terbaik untuk Tuhan (Kisah Hidup Friska Widjaja)

Saya dilahirkan pada tgl 20 Agustus 1970 di kota Kediri, Jawa Timur dari papa (Sugeng Prajitno) dan mama (Tutik Prajitno) yang berasal dari Pare, Kediri. Terlahir sebagai anak ke 3 dari 4 bersaudara, saya mempunyai seorang kakak laki-laki (Boentara), kakak perempuan (Dwi) dan adik laki-laki (Basuki).


Saya sangat menikmati masa kanak-kanak dengan banyak waktu bermain dengan anak-anak seusia saya, yaitu tetangga di sekitar rumah saya (dan salah satunya sekarang berjemaat di Abbalove Selatan, Fanny..).


Di usia 5 th, saya mulai masuk sekolah di TK PETRA Kediri. Guru-guru yang sangat menyayangi & mempunyai hati buat anak-anak saya dapatkan di TK ini. Sehingga, sampai hari ini pun saya masih dapat mengingat dengan jelas, saat saya digendong oleh seorang guru dan ditemani bermain ayunan. Sekolah ini terletak di belakang GKI Kediri, lokasi yang kemudian membuat saya berada di sekolah minggu gereja ini.


Kemudian di SD saya kembali bersekolah di SD PETRA Kediri. Di SD ini awalnya (kelas 1 & 2), saya menjadi anak yang penakut, karena sebuah trauma yang saya alami, di mana ada seorang teman yang sangat sering menyakiti saya dengan menusukkan pensilnya ke kaki saya. Kebiasaan dia ini baru berhenti setelah suatu saat kejadian ini diketahui oleh papa & mama saya. Setelah kejadian ini, kelas 3 SD menjadi awal kehidupan saya menjadi seorang anak yang mulai berani. Di kelas 3 SD inilah terjadi perubahan tahun ajaran baru menjadi dimulai di bulan Juli, sehingga saya menjalani 1,5 tahun di kelas 3 SD. Ini sangat membekas di hati saya, karena banyak hal yang saya alami. Inilah awal saya masuk sekolah minggu di gereja, di mana saya boleh berangkat sendiri bersama teman-teman. Di sekolah minggu, saya mempunyai guru-guru yang sangat mencintai anak-anak. Sampai sekali waktu, kami (saya & teman-teman) menangis karena salah seorang guru sekolah minggu kami harus pindah tempat ke Jakarta. Saat itu saya mengalami rasa kahilangan akan seorang guru yang sudah menjadi seperti seorang kakak bagi saya.


Masa di SD adalah masa yang sangat menyenangkan bagi saya. Saya sangat dekat dengan teman-teman & guru. Pengalaman yang tidak pernah saya lupakan adalah saat duduk di kelas 6 SD. Ada seorang teman saya yang mengalami masalah dengan pelajaran di sekolah. Saat itu saya dan beberapa teman berinisiatif mengadakan kelompok belajar bersama. Tiap hari kami berkumpul untuk belajar bersama (walau banyak bercanda rianya juga... hehe..). Saat teman saya ini mendapatkan peningkatan nilai, betapa senang & bangganya kami semua. Ini merupakan pengalaman yang mengawali kesenangan saya dalam berorganisasi.


Selepas SD, saya pun melanjutkan di SMP PETRA Kediri. Di SMP ini saya mulai bergabung di OSIS. Adalah suatu hal yang sangat menyenangkan saat berkumpul dengan teman2 di OSIS, perintisan koperasi sekolah, perpustakaan, majalah dinding, itu hari-hari yang saya lewati di sekolah saya. Tamat dari SMP, saya memutuskan untuk masuk di SMAN 2 KEDIRI yang menjadi sekolah favorit saat itu.


Dan di tahun 1986 inilah saya bertemu dengan Yesus secara pribadi lewat pelayanan seorang dokter di persekutuan yang ada di kota saya. Saya menerima Yesus secara pribadi dengan pengertian yang benar, kemudian terjadi perubahan dalam hidup & fokus saya. Jika dulunya saya sangat senang "berorganisasi", sekarang saya mulai tahu bahwa Tuhan berikan kelebihan ini untuk memenangkan teman-teman saya. Saat kelas 1 SMA, saya & beberapa teman memberanikan diri menghadap kepala sekolah SMAN 2 saat itu, untuk meminta ijin membuka persekutuan doa bagi murid-murid yang beragama Kristen. Persekutuan doa ini lalu menjadi cikal bakal terbentuknya persekutuan doa SMAN 2 Kediri.


Tetapi di saat yang sama, keluarga saya mengalami goncangan ekonomi. Papa & mama saya mengalami kegagalan ekonomi. Ini masa-masa yang sangat sukar bagi keluarga saya. Saat itu kakak saya (2 orang) sudah berkuliah di Salatiga, saya masih di SMA dan adik saya di SMP. Melalui masa-masa ini saya dapat melihat.... ternyata Tuhan menyiapkan pelajaran yang berharga bagi saya saat keluarga saya mengalami guncangan ekonomi ini. Saya belajar tentang IMAN, dari mama saya...


Ada satu pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan. Sekali waktu ada 1 rombongan pelayan Tuhan (yang terdiri dari para mahasiswa dari Jakarta) datang ke kota saya. Mama saya ditawarkan untuk menerima mereka di rumah. Permasalahannya, jumlah mereka 1 bus, bukan jumlah yang sedikit untuk ”menyediakan” makanan bagi mereka. Sedangkan saat itu papa & mama saya sedang tidak ada uang. Dan inilah mujijat dari iman ini sendiri, mama saya bisa menyediakan makanan soto ayam buat mereka semua. Sepulang mereka saya baru mengetahui, ternyata tanpa disangka-sangka ada seorang pelanggan saya datang menjahitkan pakaian dan pelanggan ini membayar dahulu sebelum pesanan selesai. Dari uang inilah mama saya bisa menyediakan makanan bagi rombongan yang datang ke rumah saya (salah satu nya adalah kak BETA ST, yang sekarang menjadi pemimpin jemaat di Abbalove Bali).


Kemudian papa & mama memutuskan untuk mereka berpindah ke Jakarta. Saat itu menjadi masa yang sukar bagi saya, saya & adik yang selama ini sangat dekat dengan keluarga mendadak harus kost untuk melanjutkan sekolah. Ternyata saya tidak pernah kesepian, karena teman-teman saya di persekutuan sekolah selalu menemani bahkan di saat-saat yang sangat sulit. Saya mengalami sebuah keluarga dalam arti yang sesungguhnya lewat teman-teman persekutuan ini.


Pada 1988, saat di kelas 2 semester 2, saya memutuskan untuk pindah sekolah ke SMAK 1 Salatiga, supaya lebih dekat dengan kakak saya. Ini pun awal yang tidak mudah, karena selama di Kediri, sebenarnya saya telah menemukan komunitas yang begitu dekat. Dari awalnya saya selalu pulang ke Kediri untuk berkumpul dengan teman-teman lama, sampai akhirnya saya menemukan komunitas di Salatiga. Di sekolah pun saya mulai mengajak teman-teman untuk mempunyai persekutuan doa. Walaupun ini sekolah Kristen, tetapi ternyata tidak ada waktu khusus untuk murid-muridnya melakukan persekutuan doa. Saya mulai mendapatkan komunitas di PD 56 Salatiga (dinamakan PD 56 karena dilakukan di Toko Roti 56). Saya juga mempunyai beban untuk melayani para pelajar. Salah satu peristiwa yang masih teringat adalah ketika saya & beberapa teman menolong sekelompok murid SMP melalui komunitas olahraga bola basket. Saya sendiri tidak bisa bermain basket, maka yang saya lakukan adalah menemani mereka berlatih. Saya berusaha banyak membimbing mereka melalui waktu-waktu menemani latihan ini, sehingga hidup mereka pun berubah. Awalnya mereka adalah murid-murid yang sangat tidak diperhitungkan di sekolahnya, namun akhirnya mereka berjumpa dengan Yesus secara pribadi & berhasil memenangkan pertandingan bola basket antar SMP se-Salatiga. Inilah awal saya bergabung dengan pelayanan pelajar di Salatiga.


Tahun 1989 sebenarnya saya sempat berkeinginan untuk melanjutkan kuliah di Salatiga, namun karena arahan orang tua agar saya melanjutkan "tradisi" keluarga dengan profesi dokter gigi, saya akhirnya kuliah di Universitas Trisakti, Jakarta, Fakultas Kedokteran Gigi, dari tahun 1989 sampai 1994. Saat di Jakarta inilah saya mengenal Abbalove Ministries, yang waktu itu saya kenal dengan sebutan Speed, melalui rekomendasi seorang kakak pembina dari Salatiga. Kemudian mulailah saya memasuki dunia pelayanan mahasiswa. Dimulai dari Pelayanan Mahasiswa Gabungan, saya tergabung di Rayon 1 dan dipercayakan untuk membina mahasiswa kampus GS-FAME.


Melayani di kampus GS-FAME ini sejak tahun 1990 merupakan masa-masa yang cukup sulit bagi saya. Rasanya saat itu tidak ada hasil dari para mahasiswa yang dibina. Namun setelah sekitar 18 tahun terlewat, saya melihat bahwa apa yang pernah saya lakukan tidaklah sia-sia. Jiwa-jiwa yang dulu saya layani sekarang sudah bertumbuh di gereja lokal mereka masing-masing. Pernah salah satu dari jiwa yang pernah saya layani mendatangi saya di sebuah camp Wanita Bijak di bulan Agustus yang lalu. Dia berkata, "Thank you untuk waktu yang sudah diberikan, thank you untuk hidup yang sudah dibagikan.. Karena kamu, saya ada di tempat ini sekarang." Perkataan ini membuka mata saya, bahwa apapun yang pernah kita lakukan untuk jiwa-jiwa, itu tidak pernah sia-sia. Hidup yang kita bagikan untuk mereka, pasti ada hasilnya.


Dari berbagai pelayanan mahasiswa inilah, Tuhan memberikan seorang pendamping hidup bagi saya. Dulunya dipanggil dengan Ko Seno, atau juga dikenal dengan sebutan Kak Seno.. Tepat tanggal 9 Agustus 1997 kami memasuki ikatan pernikahan. Dan sejak saat inilah, saya men-"submit"-kan diri untuk melayani Tuhan bersama-sama dengan suami. Masa-masa yang sukar bagi saya secara pribadi sebagai seorang istri adalah ketika saya harus memulai sesuatu yang baru, "mengikuti" merintis berbagai pelayanan bersama suami. Namun akhirnya saya menemukan pola kerja Tuhan dalam hidup saya. Ketika saya sudah mendapatkan tempat "nyaman" dalam pelayanan saya, Tuhan akan "pindahkan" saya ke tempat/lingkungan/hal yang baru. Sekarang, Tuhan telah menganugerahkan 3 orang anak dalam keluarga kami: Joshua ("Jeje", lahir 7 Juli 1999), Jeremy ("Niel", lahir 19 Mei 2001) & Jeane (lahir 26 Agustus 2005). Saya rindu agar setiap anak kami ini juga bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan secara pribadi dalam hidupnya.


Di tahun 1997, di bulan Maret, saya bergabung sebagai staf pengabdi di kantor gereja. Waktu itu saya ditempatkan di Departemen Penggembalaan, di Divisi Bimbingan Pra-Nikah (BPN) & Pernikahan. Kemudian setelah melahirkan anak pertama, saya & suami bersepakat agar saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak kami.


Saat ini, selain mendampingi suami menggembalakan jemaat, saya juga melayani di Wanita Bijak. Sejak awal perintisan pelayanan Wanita Bijak di area Barat, lalu juga di Jawa Tengah, khususnya di Semarang, saat ini juga sudah menjangkau Yogyakarta & Solo. Motivasi yang mendasari pelayanan saya di Wanita Bijak adalah kerinduan hati saya. Saat Tuhan mengubah hidup saya dari sisi saya sebagai seorang wanita, saya sungguh rindu untuk membagikan apa yang telah saya alami ini kepada banyak wanita lain.


Apapun juga yang saya kerjakan, saya harus mengerjakan yang terbaik untuk Tuhan.. Inilah yang menjadi motto hidup saya.

Selengkapnya...

Kamis, November 13, 2008

Happy Anniversary

Selengkapnya...

Sabtu, September 27, 2008

Sumarno Kosasih & Woen Soen Lan

Proses saya bertemu dengan Sun Lan bermula dari saya mengajar dia dan bersama dia dalam suatu jemaat lokal yang sama. Tanpa saya sadari ternyata Tuhan telah mempersiapkan dia menjadi pasangan saya. Saya mengenal Sun Lan sejak saya belum bertobat, waktu itu saya mengajar dia dalam pelajaran Fisika, Matematika dan Kimia pada masa-masa studi di Sydney, Australia. Setelah saya bertobat, kami terlibat dalam jemaat lokal yang sama. Saya mengagumi Sun Lan karena banyak hal. Kasihnya, perhatiannya, kedewasaannya, kemandiriannya, juga ia berani hidup susah dan tidak cengeng. Hal-hal inilah yang saya cari dalam diri seorang istri.

Pada tahun 1985, saya, Sun Lan dan seorang teman kami harus melakukan perjalanan ke kota Canberra untuk sebuah kegiatan. Namun ternyata teman kami itu tidak bisa ikut bersama kami, sehingga saya pergi berdua saja dengan Sun Lan. Dalam perjalanan kereta api dari Sydney ke Canberra, saya duduk bersama Sun Lan. Senang sekali saya dapat pergi bersama Sun Lan, sehingga saya pun memberanikan diri mengutarakan perasaan saya kepadanya. Karena terkejut dengan pernyataan saya, Sun Lan sempat diam saja tanpa memberikan jawaban apapun. Hal ini membuat saya bingung. Lalu ia minta waktu selama 1 bulan untuk berpikir dan akhirnya memutuskan untuk menerima saya menajdi pasangannya.

Selama 7 tahun saya dan Sun Lan membangun hubungan pranikah, banyak hal kecil yang membuat hubungan kami kadang berjalan tidak begitu baik. 7 tahun merupakan waktu yang tidak sebentar untuk membangun hubungan pranikah. Salah satu hal yang saya lihat pada hubungan kami adalah perbedaan yang mencolok antara saya dengan dia. Sun Lan adalah seorang yang rapi sedangkan saya adalah tipe berantakan; Sun Lan suka mempersiapkan segala sesuatunya dari awal sedangkan saya cenderung melakukan berbagai hal dengan mendadak. Seiring dengan berjalannya waktu, kami berdua terus diproses hingga berubah dan bertumbuh. Saya melihat bahwa sebenarnya bimbingan sangat penting bagi mereka yang sedang memepersiapkan diri untuk menikah. Sayang sekali saya dan Sun Lan dulu tidak mendapatkan bimbingan semacam ini, karena tidak ada di jemaat lokal kami. Bersyukur sekali bahwa di Abbalove Ministries terdapat BPN (Bimbingan Pra-Nikah). Saya sangat mendorong untuk tiap pasangan memberikan diri dibimbing dan diayomi di BPN.

Saya dan Sun Lan menikah pada tanggal 18 Januari 1992. Melewati tahun-tahun pernikahan, Tuhan mengaruniakan kepada kami 2 orang anak yang kami beri nama Eunike dan Benaya. Mereka berdua mempunyai temperamen yang berbeda, dan memiliki anak-anak seperti mereka sungguh menyenangkan. Saat ini kami sekeluarga tinggal di daerah Gading Serpong dan kami sangat bersukacita dapat dipakai untuk melayani Tuhan di Abbalove Ministries. Selengkapnya...

Kamis, September 11, 2008

Happy Anniversary

Selengkapnya...

Selasa, September 09, 2008

1968 - ... ... (Kisah Kehidupan Seno Widjaja)

Masa Kecil Dalam Keluarga


-Saya saat bayi-

Saya dilahirkan dalam sebuah keluarga dengan latar belakang dari kota Medan. Papa dan mama saya lahir di Medan, sedangkan saya sendiri lahir di Palembang pada tanggal 16 Desember 1968. Orang tua saya memberikan nama kepada saya: SENO WIDJAJA. Saya memiliki seorang kakak perempuan bernama RINA WIWARNI.

Masa kecil saya lewatkan di kota Palembang sampai kelas 3 SD. Kemudian, sekeluarga kami pindah ke kota Jakarta. Masa-masa pendidikan saya jalani di:
- SD Xaverius IV, Bukit Kecil Palembang (kelas 1-3); tahun 1974-1977
- SD Bhinneka Tunggal Ika, Jakarta (kelas 4-6); tahun 1977-1980
- SMP Bhinneka Tunggal Ika, Jakarta; tahun 1980-1983
- SMAN 2, Jakarta; tahun 1983-1986
- Universitas Tarumanegara, Fakultas Ekonomi; tahun 1986-1991
- Institute of Community Development Studies, Jurusan Misiologi; tahun 1999-2001

Saat SMA, tepatnya pada tahun 1983, saya mulai mengikuti persekutuan di PDPI (Persekutuan Doa Penyebaran Injil) di daerah Mangga Besar, yang lebih dikenal dengan sebutan "Gang Anjing", di rumah Kak Sofjan (sekarang salah satu Penatua Abbalove Ministries). Saya mengikuti PDPI ini karena diajak oleh seorang saudara sepupu saya. Namun, walau dibaptis air pada tahun 1983, saya belum mengalami perubahan hidup saat itu.

Masa-masa ini merupakan masa-masa yang sulit bagi keluarga kami. Papa dan mama mengalami kegagalan dalam bidang ekonomi, dan mama meninggal dunia pada tahun 1988, saat saya duduk di bangku kuliah. Karena berbagai kesulitan inilah, saya lalu tinggal di rumah saudara sepupu saya. Semua ini membuat hidup saya selalu dibayang-bayangi rasa gagal, rasa minder, dan rasa tidak puas terhadap Tuhan. Tetapi ternyata, Tuhan mengetuk hati saya melalui kehidupan saudara sepupu saya. Tinggal di rumahnya membuat saya melihat begitu banyak perubahan dalam hidupnya. Ini membuat saya merindukan adanya perubahan juga dalam hidup saya.


Mengenal Yesus & Melayani Dia

Akhirnya pada tahun 1985, tepat pada malam sebelum saudara sepupu saya itu berangkat untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri, ia menantang saya dan melayani saya secara pribadi. Malam itulah, saya mengalami baptisan Roh Kudus. Dan ini sungguh-sungguh mengubah hidup saya. Tuhan mengubah saya yang tadinya hanyalah seorang pemuda yang pemalu menjadi seorang saksi yang berani berkata-kata tentang Injil. Inilah yang menjadi titik awal kehidupan saya bersama Yesus.

Sejak itu, saya mulai bertumbuh di KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) Daud. Di tahun 1986 saya pun mulai terlibat dalam pelayanan di bidang warta gereja (yang merupakan cikal-bakal warta gereja kita saat ini) dan buletin doa Getsemani. Pelayanan ini saya jalani selama sekitar 5 tahun. Dalam masa 5 tahun ini, bersama beberapa rekan lain saya juga mulai merintis pelayanan pemuda (yang nantinya bertumbuh menjadi pelayanan Prakarsa: profesi, alumni, karyawan, usahawan). Di tahun 1989, saya juga mulai dipercayakan untuk memimpin pelayanan mahasiswa, yang dimulai dengan terbentuknya PMG (Pelayanan Mahasiswa Gabungan).

-Menjadi komandan upacara di PMG-

Dalam perjalanan pelayanan mahasiswa ini, tanpa sadar saya banyak sekali "melukai" orang-orang yang saya pimpin. Ternyata ini disebabkan oleh belum pulihnya kondisi hati saya dalam hal gambaran seorang bapa. Sampai suatu waktu di tahun 1994, Tuhan memulihkan hubungan saya dengan papa saya, sehingga terjadi pemulihan hati bapa dalam hidup saya.

Pada tahun 1996, saya mulai merintis jemaat di Jakarta Barat. Tempat pertama yang kami gunakan adalah toko kue Cherry Red di daerah Roxy. Ini merupakan awal yang sangat sulit bagi saya, apalagi selama hampir 2 tahun pertama, jumlah jemaat "hanya" tetap 80 orang saja. Namun melalui suatu pernyataan yang Tuhan berikan lewat seorang rekan, yaitu bahwa akan keluar ribuan bintang dari tempat kami berdoa, saya mendapatkan peneguhan dan kekuatan baru untuk terus melangkah serta tidak menyerah melayani di Jakarta Barat. Setelah 2 tahun, di tahun 1998 saya mulai merintis sebuah ibadah untuk kelompok usia keluarga di Greenville Maizonette, Jakarta Barat. Komsel keluarga yang pertama dibuka bertempat di Apartemen Taman Anggrek. Dan akhirnya setelah 7 tahun melayani di Jakarta Barat, saya mendapati Tuhan telah melahirkan banyak pemimpin-pemimpin baru yang siap untuk memimpin di kelompok usia masing-masing.


Kisah Yang Terus Berlanjut

Di tengah-tengah perjalanan hidup saya melayani Tuhan, tepat pada tanggal 9 Agustus 1997, Ia memberikan seorang pendamping hidup bagi saya, Friska. Suatu generasi ilahi pun Ia karuniakan kepada keluarga kami, dengan lahirnya:
- Joshua Evan Widjaja, pada tanggal 7 Juli 1999;
- Jeremy Nathaniel Widjaja, pada tanggal 19 Mei 2001;
- Jeane Charysa Widjaja, pada tanggal 26 Agustus 2005.

-Keluarga yang Tuhan anugerahkan kepada saya-

Kisah yang Tuhan tuliskan bagi hidup saya terus berlanjut. Di tahun 2000, saya dipercayakan sebagai wakil ketua Yayasan Media Buana Indonesia (lebih dikenal dengan nama Metanoia), lalu pada tahun 2004 saya dipercayakan lebih lanjut menjadi ketua yayasan tersebut. Kemudian, di tahun 2005 juga saya pun dipercayakan untuk meng-oversee Yayasan Derek Prince Ministries sebagai ketua sampai sekarang.

Setelah melewati berbagai proses persiapan, Tuhan juga membawa saya diteguhkan sebagai salah satu penatua Abbalove Ministries, tepatnya pada tanggal 17 September 2006, bersama dengan Bp. Lukas Winarno dan Bp. Sumarno Kosasih (selain ketiga penatua yang telah berfungsi sejak sebelumnya: Bp. Eddy Leo, Bp. Sofjan Sutedja dan Bp. Jeff Hammond). Kemudian di tahun 2008 ini, lewat doa dan berbagai peneguhan, Tuhan memberi saya suatu beban untuk melayani para profesional muda, keluarga muda, para pemimpin generasi selanjutnya dan market place ministry.

-Saya & istri sedang didoakan dalam peneguhan menjadi salah satu penatua Abbalove Ministries-



Perubahan hidup yang saya telah alami selama ini membuat saya sungguh merindukan agar setiap jiwa yang saya jumpai juga mendapatkan hal yang sama seperti apa yang sudah pernah saya dapatkan dengan hadirnya Yesus dalam hidup saya. Inilah yang melahirkan kerinduan di hati saya untuk terus mementor generasi berikutnya...


(Seno Widjaja) Selengkapnya...

Jumat, Agustus 22, 2008

Sudah 38 Tahun, Wow!! (Kisah Kasih Jeff & Annette Hammond)



Anniversary Jeff & Annette: 22 Agustus 1970-2008

Perjuangan hidup kami berdua merupakan suatu petualangan yang sangat indah. Kami bertemu pada tahun 1968 sewaktu saya di Kelas 3 SMA, Upwey High School, Melbourne, dan Annette sudah di tahun kedua di Universitas Monash, juga di Melbourne.

Annette dibesarkan di keluarga Kristen yang dulunya tinggal di Oakleigh, Melbourne, sampai awal tahun 1966. Kemungkinan opa Annette adalah orang ketiga di Melbourne yang dibaptis dengan Roh Kudus pada awal gerakan Pentakosta sedunia sekitar tahun 1912. Ayahnya pun kemudian dibaptis dengan Roh Kudus. Jadi, Annette menjadi generasi ketiga dalam keluarganya untuk mengalami baptisan Roh Kudus.

Pada awal tahun 1966 itu, keluarga Annette pindah ke Upwey dan Annette menyelesaikan pelajaran SMA-nya di Upwey High School dan menjadi juara sekolah. Annette sangat aktif dalam persekutuan kampus SMA yang tiap minggu berkumpul di saat istirahat sejam makan siang (SMA Australia dari jam 9.00 pagi sampai jam 16.00). Ternyata di sekolah itu (terdiri dari SMA & SMA) tidak ada calon siswa/i pemimpin untuk meneruskan persekutuan itu, sehingga para pemimpin angkatan Annette, termasuk Annette sendiri, tiap minggu berdoa agar Tuhan membangkitkan atau mengutus seseorang ke sekolahnya yang bisa menjadi pengganti mereka.

Pada April tahun 1965, saya telah menjadi seorang percaya yang merasakan panggilan untuk melayani Tuhan. Berhubung saya telah meninggalkan pendidikan dan mulai bekerja di bank setelah SMA kelas 1 pada tahun 1964, maka saya tidak memenuhi persyaratan untuk masuk Sekolah Teologia Anglikan. Saya harus tamat SMA dulu. Maka pada tahun 1967 saya kembali masuk sekolah. Setelah ditolak di sekolah saya yang sebelumnya, Boronia High, lalu akhirnya pada akhir 1966 saya akan diterima di Upwey High. Apakah ini jawaban doa para murid angkatan Annette?

Di akhir tahun 1966, para pemimpin angkatan Annette diberitahu bahwa ada calon pendeta Anglikan akan masuk sekolahnya untuk SMA kelas 2 dan SMA kelas 3. Mereka sangat gembira bahwa doa mereka terjawab, kecuali Annette. Annette kecewa. Ia adalah seorang yang penuh Roh Kudus dan ia mengharapkan seseorang yang dinamis, injili dan penuh Roh Kudus sebagai jawaban doa. Gambaran Annette terhadap Anglikan pada waktu itu tidak mendukung harapannya.

Pada tahun 1967 saya belajar di Upwey High dan terjadi kebangunan rohani. Persekutuan siswa-siswi yang telah percaya Yesus bertumbuh dari 20 orang menjadi 50 orang, dan kami telah memulai program kelompok berdua-dua dalam berdoa serta bersaksi kepada siswa-siswi lain. Kadang lebih dari 200 siswa/i yang mengikuti program kami.

Annette telah mendengar tentang perkembangan ini dari dua orang adiknya yang juga belajar di sekolah itu. Bahkan salah satu adiknya menawarkan bahwa calon Annette adalah si pemuda yang sekarang memimpin gerakan itu di kampus sekolah. Annette tidak tertarik karena dua alasan: pertama, dia (Jeff) tidak bertubuh tinggi dan kedua, dia Anglikan. Namun karena gerakan terus berjalan Annette semakin tertarik sehingga ia mengirim surat kepada saya untuk menawarkan grup penyanyi dari gerejanya untuk mendukung program penginjilan kami. Saya membaca suratnya tetapi saya tidak tertarik. Mengapa? Saya sudah mendengar tentang Annette. Orang-orang bilang dia adalah seorang Pentakosta. Gambaran saya tentang Pentakosta waktu itu sangatlah negatif, bahkan saya ragu apakah mereka sesuangguhnya Kristen.

Pada bulan Maret 1968, Annette, sebagai mantan juara sekolah, diundang ke Upwey High untuk dua event. Pertama, untuk memberi kuliah di kelas Sejarah Australia, dan yang kedua untuk memberi presentasi kepada seluruh sekolah tentang transisi dari SMA/SMA ke Universitas. Jadi, saya menjadi murid Annette. Saat Annette memasuki ruang kelas saya, dan walaupun pada waktu itu saya belum mengenal dia, jantung saya telah meledak dan saya langsung tahu bahwa inilah dia orangnya yang akan menjadi pasangan hidup saya. Betapa terkejut saya saat dia diperkenalkan. Inilah Annette itu! Inilah si cewek Pentakosta!

Setelah kelas selesai saya langsung memperkenalkan diri kepada Annette dan telah mengatur utnuk bertemu kembali. Ini adalah pengalaman yang shock bagi saya. Ternyata si cewek Pentakosta ini sangat cinta Yesus dan FirmanNya. Dia sangat dalam dan aktif belajar Firman Tuhan setiap hari. Ia pun aktif mengikuti Sekolah Alkitab Malam tiap minggu. Saya melihat semua catatannya dari penggaliannya dalam Firman Tuhan, dan saya sangat kagum akan dia.

Tidak sampai dua bulan saya mengenalnya, saya menawarkan kepadanya untuk menjadi pasangan hidup saya dan untuk melayani Tuhan bersama. Dengan visi yang sama yang semakin jelas untuk melayani Tuhan bersama di Indonesia, kami telah membuat perjanjian bersama untuk mempersiapkan diri untuk tujuan yang mulia itu.

Setelah itu, saya masuk Sekolah Teologia Calvary Bible College (CBC), sedangkan Annette telah menyelesaikan BA-nya di Monash kemudian masuk ke CBC juga. Sehari setelah tahun pelajaran berakhir, kami menikah pada hari Sabtu tanggal 22 Agustus 1970.


Masa Persiapan 1968-1970

Setelah mengenal Annette terjadi krisis dalam pola pikir saya. Sebagai calon pendeta Anglikan tentu pengertian saya tentang baptisan air dan baptisan Roh Kudus diwarnai paham Anglikan, yaitu tentang baptisan percik anak-anak dan bahwa zaman baptisan Roh Kudus telah berakhir pada tahun 100M. Pandangan Annette tentang kedua hal itu menjadi tantangan berat buat saya sehingga kedua doktrin itu harus saya pelajari secara mendalam. Saya tidak mau mengubah posisi saya sekedar karena saya mencintai seorang cewek. Dalam pikiran saya, kalau boleh, saya mengubah pandangan dia menjadi sama dengan pandangan saya. Akhirnya saya tidak mengubah pandangan Annette karena saya menajdi sadar bahwa posisi saya yang lama tidak sesuai dengan Firman Tuhan. Oleh sebab itu, pada bulan Mei 1968, saya dibaptis dengan Roh Kudus dan pada Januari 1969 saya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus Kristus secara selam.

Setelah kami mulai berpacaran, tiga kali menguji kehendak Allah supaya memastikan apakah rencana kami sesuai dengan kehendak Allah. Di zaman itu, tidak ada istilah pra-nikah atau bimbingan untuk pasangan-pasangan muda, namun kami sudah tahu bahwa suatu rumah tangga harus dibangun atas dasar yang kuat, yaitu - 1. Keyakinan kuat bahwa rencana ini adalah kehendak Allah; 2. Bahwa kami saling mengasihi dan bersedia menyerahkan hidup satu sama lain; 3. Panggilan pelayanan, misi & tujuan hidup selaras. Dengan tiga dasar inilah kami melangkah menuju hari yang mulia.

Beberapa bulan sebelum kami menikah, kami dipakai Tuhan untuk memenangkan beberapa orang dari satu keluarga untuk mengenal Yesus. Suatu pasangan suami-istri (Asleigh dan Judy) serta adik Judy yang bernama Helen. Mereka telah menjadi teman akrab kami. Begitu akrabnya, hingga Judy telah memberikan baju pengantinnya kepada Annette agar dipakai oleh Annette pada hari pernikahan kami. Seminggu sebelum pernikahan kami, terjadi kecelakaan lalu-lintas dan Judy meninggal dunia. Asleigh dan Helen mengalami luka-luka. Acara pemakaman itu terjadi pada tanggal 19 Agustus, hanya tiga hari sebelum acara pernikahan kami di ruang ibadah yang sama. Keluarga Judy minta izin untuk mengikuti acara pernikahan karena ingin melihat Annette memakai baju pengantin Judy. Setelah acara pernikahan, ibu Judy dan adik-adiknya menyerahkan hidup kepada Yesus dan sampai hari ini menjadi pelayan dan aktivis dalam pelayanan gereja di Australia.

Pada hari pernikahan saya harus melewati suatu ujian yang berat. Gembala kami, Ray Jackson Sr., kadang mempunyai cara yang tidak lazim untuk menguji calon pelayan. Selama sebulan sebelum pernikahan saya sudah minta waktu untuk konseling dengan beliau, untuk semacam konseling pranikah, tetapi saya tidak mendapatkan waktu untuk menemuinya sampai hari pernikahan dan saya harus ketemu dengan beliau dua jam tepat sebelum acara pernikahan.

Acara pernikahan dijadwalkan untuk jam 14.00 siang hari, jadi pada jam 12.00 saya tiba di kantor gereja untuk berbicara dengan gembala kami itu. Beiau membuka pintu kantor dan berkata, "Gereja belum dibersihkan. Pergi sekarang dan bersihkan gereja!" Bersama satu kawan, kami ganti pakaian dari baju nikah lalu selama sejam kami membersihkan ruang ibadah. Setelah itu kami mandi dan ganti pakaian lalu kembali ke kantor gembala tetapi sekarang beliau sudah terlalu sibuk dengan persiapan untuk acara sehingga tidak dapat lagi bertemu sebelum acara.


Upacara Pernikahan

Pada jam 14.00 acara dimulai. Seperti kebiasaan di Australia, saya bersama dua teman pengantin pria sudah ada di depan menantikan kedatangan pengantin wanita yang akan diantar oleh ayahnya. Annette dan saya sudah mengatur supaya Annette tiba 20 menit lebih lambat dari yang dijadwalkan. Ini karena ada banyak tamu, keluarga saya, yang adalah non-Kristen, dan saya ingin mereka menikmati suasana pujian dan penyembahan dalam jemaat kami. Selama 20 menit itu ada nyanyian-nyanyian yang indah. Sekitar 500 orang menghadiri acara pernikahan kami. Paduan suara "Immanuel Choir" menyembut kedatangan Annette dengan nyanyian, "Oh Yerusalem Kota Mulia":

OH YERUSALEM

Oh Yerusalem kota mulia, Hatiku rindu kesana

Oh Yerusalem kota mulia, Hatiku kurindu kesana


Reff :
Tak lama lagi Tuhanku datanglah, Bawa saya masuk sana
Tak lama lagi Tuhanku datanglah, Bawa saya masuk sana

Setelah Annette tiba di depan, penyanyi favorit kami, Lorene McPherson, menyanyikan sebuah lagu lagi tentang "Yerusalem, Kota Allah". Inilah weblink untuk Anda dapat mendengar lagu ini (walaupun kami merasa Lorene telah menyanyikannya lebih baik daripada yang ada di internet). Visi Yerusalem ini telah menjadi suatu daya pendorong bagi misi hidup kami untuk mempersiapkan Gereja Tuhan sebagai Mempelai Wanita Kristus. Klik dan dengarkan nyanyian yang indah ini: http://hometown.aol.com/walkn4jesus/Page1.html


Inilah kata-kata nyanyian itu:


Last night I lay asleeping,
There came a dream so fair;
I stood in old Jerusalem
Beside the temple there.
I heard the children singing,
And ever as they sang,
Me thought the voice of angels
From heaven in answer rang;
Me thought the voice of angels
From heaven in answer rang;

Jerusalem! Jerusalem!
Lift up your gates and sing,
Hosanna in the highest!
Hosanna to your King!

And then me thought my dream was changed,
The streets no longer rang,
Hushed were the glad hosannas
The little children sang.
The sun grew dark with mystery,
The morn was cold and chill,
As the shadow of a cross arose
Upon a lonely hill,
As the shadow of a cross arose
Upon a lonely hill.

Jerusalem! Jerusalem!
Hark! How the angels sing,
Hosanna in the highest!
Hosanna to your King!

And once again the scene was changed,
New earth there seemed to be;
I saw the Holy CIty
Beside the tideless sea;
The light of God was on its streets,
The gates were open wide,
And all who would might enter,
And no one was denied.
Noneed of moon or starts by night,
Or sun to shine by day;
It was the new Jerusalem
That would not pass away,
It was the new Jerusalem
That would not pass away.

Jerusalem! Jerusalem!
Sing for the night is over,
Hosanna in the highest!
Hosanna forevermore!

Di dalam ibadah pernikahan kami ada lagu-lagu dari paduan suara dan grup penyanyi "Gospel Firebrands". Acaar itu berjalan dengan sempurna. Dalam kotbah nikah, gembala kami berkata, "Pasangan muda ini dipanggil Tuhan dan dalam waktu segera akan berangkat sebagai misionaris ke Indonesia." Kotbahnya sangat bagus dan menguatkan kami. Ibadah berakhir dengan kami berjalan keluar dengan iringan, "Hidupku tidak sama lagi."



Hari ini, 38 tahun telah genap sejak hari yang mulia itu. Sungguh Tuhan-lah yang telah menjodohkan kami sehingga kami saat ini menjadi pasangan suami-istri yang sangat berbahagia. Ketiga komitmen dasar saat kami berpacaran telah menjadi dasar kehidupan berumah tangga dan pelayanan kami. Oleh anugerahNya kami telah dipelihara dan kasih kami satu kepada yang lain tidak menurun, malah semakin kuat. Ayat motto kami saat berpacaran dan sampai hari ini adalah Mazmur 34:2-3:

"Karena TUHAN, jiwaku bermegah;
biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita.
Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku,
marilah kita bersama-sama memasyhurkan namaNya!"
Selengkapnya...

Rabu, Agustus 20, 2008

Happy Birthday

Selengkapnya...

Sabtu, Agustus 16, 2008

Perjalanan Hidup Bp. Lukas Winarno (part 1)

Saya sangat senang dengan adanya blog penatua ini sehingga jemaat bisa mengikuti perjalanan para penatua dan semakin mengenal mereka, dari latar belakang kehidupan sampai Tuhan memanggil mereka di ladangNya. Juga jemaat bisa mengetahui isi hati, beban, mimpi, serta kesaksian-kesaksian dalam perjalanan pelayanan para penatua Abbalove Ministries.


Masa Kecil

Saya lahir di Magetan, sebuah kota kecil di Jawa Timur dekat perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, berada di lereng Gunung Lawu. Kalau saudara pernah mendengar tentang tempat wisata Sarangan dan lapangan udara Iswahyudi, keduanya berada di Kabupaten Magetan.
Saya lahir pada tanggal 15 Agustus 1956 sebagai anak ketiga dari enam bersaudara dalam sebuah keluarga Kristen. Papi dan mami saya adalah anggota Gereja Pantekosta Pusat Surabaya dan mereka sangat mengasihi Tuhan. Saya dan seluruh saudara rajin mengikuti Sekolah Minggu dan kebaktian remaja di gereja. Kami hidup berbahagia dan berkecukupan dengan seorang papi yang bekerja keras dan memiliki banyak usaha. Namun rupanya kehidupan yang tenang dan nyaman ini tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba papi saya jatuh sakit (hernia) dan harus dioperasi. Operasi tersebut gagal dan papi saya tidak tertolong lagi. Ia dipanggil Tuhan pada tahun 1965 dalam usia 43 tahun. Saat itu usia saya 9 tahun, dan adik saya yang terkecil baru berumur 3 bulan. Saya merasakan bahwa Tuhan memanggil papi saya terlalu cepat. Saya pun tidak bisa mengingat terlalu banyak pengalaman hidup bersama papi di masa kecil.

Mami saya bukan seorang pebisnis dan pekerja, beliau hanyalah seorang ibu yang sehari-harinya mengurus dan membesarkan anak-anaknya. Mami tidak pernah terlibat dalam usaha-usaha yang dijalankan oleh papi, sehingga setelah papi meninggal, usahanya tidak ada yang meneruskan dan terpaksa ditutup. Dengan harta (uang) yang tidak banyak, mami saya berusaha membesarkan kami dengan menjual roti. Tiap hari jam 4 pagi, mami pergi dengan kendaraan umum ke Madiun (sekitar 25km dari tempat tinggal kami) untuk "kulakan" roti lalu dijual kembali di Magetan. Kami benar-benar harus hidup sederhana, bahkan pas-pasan, sepeninggal papi. Inilah yang membuat saya memiliki hanya satu tujuan hidup, yaitu pergi ke Jakarta untuk mencari uang sebanyak-banyaknya, agar dapat membantu mringankan beban mami dalam membesarkan dan menyekolahkan adik-adik saya.


Datang ke Jakarta

Kakak saya yang kedua cukup cerdas, ia mendapatkan gelar juara di sekolah berkali-kali, sehingga tante saya yang tinggal di Jakarta kemudian mengadopsi dia dan membiayai pendidikannya di sebuah universitas di Jakarta. Setelah lulus SMA, saya menyusul kakak ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Saya mendapatkan pekerjaan sebagai seorang salesman di sebuah perusahaan biskuit. Setelah mendapatkan gaji pertama, saya sangat bergairah. Saya segera mengirimkan sebagian besar dari gaji tersebut kepada mami saya, dan saya mulai bekerja lebih keras lagi, sebab hanya ada satu tekad di hati dan pikiran saya: mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk membantu keluarga dan ingin membahagiakan mami.

Sejak saya di Jakarta, saya tidak lagi memperhatikan kehidupan rohani saya dan tidak lagi aktif di dunia gereja. Saya semakin jauh dari Tuhan dan melakukan dosa-dosa seperti orang-orang dunia yang belum mengenal Tuhan. Saat itu sekitar tahun 1976, dan walaupun tiap hari Minggu saya menghadiri ibadah di sebuah gereja, namun sisa waktu saya pergunakan untuk mempelajari ilmu kungfu.

Setelah 3 tahun bekerja, saya mulai melanjutkan pendidikan. Saya kuliah di sebuah universitas, jurusan Akuntansi. Saat itu saya sudah berhenti dari perusahaan biskuit tempat saya dulunya bekerja, dan sedang merintis sebuah usaha baru. Lama-kelamaan, karena perintisan usaha baru ini, saya pun lebih berkonsentrasi pada usaha dan tidak bersemangat lagi untuk meneruskan pendidikan saya.


Tuhan mempertemukan saya dengan pendamping hidup saya

Pada tahun 1981, saya bertemu dan berkenalan dengan Lia Catherina (sekarang menjadi istri saya). Saat pertama kali itu, saya sudah merasa bahwa ia akan menajdi istri saya. Namun masalahnya tidak semudah perasaan saya itu, ternyata Lia tidak suka kepada orang Kristen. Saat itu saya ingat Firman Tuhan yang berkata bahwa terang dan gelap tidak bisa bersatu, maka saya terus berdoa agar Lia bisa percaya kepada Yesus.

Rupanya Tuhan menjawab doa saya. Suatu hari Minggu, saya mengajak Lia menghadiri sebuah kebaktian di gereja dan dia bersedia. Setelah beberapa kali menghadiri kebaktian tersebut, ia mengajak saya untuk mencoba menghadiri kebaktian di gereja lain. Demikianlah kami berkeliling, mencoba berbagai kebaktian di berbagai gereja. Hampir semua gereja yang cukup besar yang terletak di jalan-jalan besar, kami pernah datangi. Singkatnya, akhirnya kami menemukan salah satu gereja di mana Lia mendapatkan tempat yang pas untuk berbakti. Ia merasa home dan enjoy walau kebaktiannya memakan waktu lebih dari 2 jam. Lia mendengarkan kotbah dengan serius dan akhirnya menyerahkan diri untuk dibaptis dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Kami pun menikah pada tahun 1983 di catatan sipil, karena saat itu peraturan pemerintah mewajibkan penduduk untuk menikah secara catatan sipil dahulu baru kemudian diberkati di gereja. Pada waktu itu kami tidak mendapatkan bimbingan untuk mempersiapkan pernikahan, sehingga pernikahan kami tidak langsung diberkati di gereja.


Masa awal pertumbuhan rohani

Sejak Lia dibaptis, kami berdua merasakan suatu kehausan dan kelaparan yang luar biasa akan Firman Tuhan. Kami mulai sering mendatangi acara-acara persekutuan doa yang ada di Jakarta. Salah satu di antara persekutuan doa tersebut adalah Persekutuan Doa Penyebaran Injil (PDPI) yang berlokasi di belakang Sarinah, Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat. Di sinilah saya mengenal PDPI Filadelfia yang berlokasi di Jl. Mangga Besar IV, yaitu rumah Bp. Sofjan Sutedja, yang kini kita kenal dengan sebutan Abbalove Ministries. Di rumah Pak Sofjan inilah saya mengalami baptisan Roh Kudus dalam sebuah acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR).

Ketika mengalami baptisan Roh Kudus, terjadi perubahan yang dahsyat pada diri saya. Saya yang dulunya minder, gagap dan tidak mampu menyelesaikan sebuah kalimat (apalagi jika di hadapan lebih dari 5 orang), telah diubahkan menjadi benar-benar berbeda. Saat menerima penumpangan tangan dan baptisan Roh Kudus tersebut, saya seolah tidak ingat lagi kondisi lama saya. Setelah beberapa hari, barulah saya menyadari bahwa saya ternyata sudah tidak lagi gagap, bahkan bisa berbicara dengan sangat lancar. Saya juga heran karena ternyata saya berani berbicara di depan banyak orang tanpa rasa minder di hati saya. Selain itu, ada antusiasme yang berkobar-kobar dalam hati saya bagi Yesus. Setiap hari saya bersaksi dan memberitakan Injil kepada siapa saja yang saya jumpai, sampai akhirnya saudara-saudara sepupu saya yang berlatar belakang non-Kristen, bertobat dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat mereka.

Sampai waktu itu, saya dan Lia beribadah di 2 tempat, tiap jam 10.00 pagi kami menghadiri ibadah di sebuah gereja di daerah Ketapang lalu tiap jam 14.00 siang kami datang ke rumah Pak Sofjan. Pada tahun 1984 kami mulai melayani Sekolah Minggu yang dibuka di rumah saya. Kami sangat bersuka cita karena banyak anak tetangga yang datang untuk kami bawa kepada Tuhan. Sekolah Minggu ini terus berkembang sampai akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan kebaktian di Ketapang dan berfokus untuk melayani di Sekolah Minggu ini.


Tangan Tuhan menuntun keluarga saya

Setelah sebelumnya tidak mendapatkan bimbingan pranikah yang benar, akhirnya Tuhan memberikan anugerah sehingga pernikahan saya dan Lia dapat diberkati di gereja pada tahun 1985. Pada tahun 1986, anak pertama kami lahir. Seorang putra yang kami beri nama Amos Decker Winarno. Saat ini Amos sedang menyelesaikan tugas akhirnya di Universitas Pelita Harapan, dan melayani di Ibadah Youth Speed. Pada tahun 1988, anak kedua pun lahir. Kali ini seorang putri, Fernandina Christabel Winarno. Kini ia sedang menempuh semester kelima di Universitas Bina Nusantara, dan melayani di Ibadah TOGA Mangga Dua Square.


Saya percaya, perjalanan sebelum hari ini telah memulai proses Tuhan dalam merajut hidup saya. Dipilih sejak dalam kandungan, dipersiapkan melalui sekolah kehidupan, sampai menggenapi rencanaNya yang sempurna. Pada kesempatan berikutnya saya akan menceritakan perjalanan pelayanan saya serta apa yang menjadi beban dan mimpi-mimpi saya. Tuhan memberkati. (...to be continued...)

Lukas Winarno
Selengkapnya...

Jumat, Agustus 15, 2008

Happy Anniversary

Selengkapnya...

Happy Birthday

Selengkapnya...

Sabtu, Agustus 09, 2008

Happy Anniversary

Selengkapnya...

Sabtu, Agustus 02, 2008

Seorang Anak Sekolah yang Menolak Yesus (sebuah catatan sejarah kehidupan)

JIKA SETAN ADA, MAKA TUHAN PUN PASTI ADA

Saya lahir sebagai anak bungsu dari 6 bersaudara dalam keluarga Tionghoa non-Kristen di Medan, Sumatera Utara. Selama 12 tahun saya bersekolah di Sekolah Kristen Methodis dari SD sampai SMA. Sekalipun belajar agama Kristen, saya tetap tidak percaya bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juru Selamat. Saya hanya percaya bahwa Yesus hanya manusia biasa yang tercatat dalam sejarah. Namun Tuhan memakai hal yang lucu untuk menarik perhatian saya. Rumah kami di Medan kebetulan lokasinya dekat dengan kuburan, sehingga kami sering mendengar suara anjing-anjing kami yang melolong di tengah malam. Orang-orang berkata bahwa mata anjing bisa melihat roh halus yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia. Di situlah saya sadar bahwa setan itu ada dan nyata, apalagi suatu hari pembantu kami pun kerasukan roh jahat. Saya mulai berpikir bahwa kalau setan ada, maka Tuhan pun pasti ada.
Tetapi, Tuhan yang mana? Setiap agama menyatakan bahwa tuhannya paling benar. Waktu itu, daripada bingung memilih Tuhan yang mana, maka saya memutuskan untuk hidup berbuat baik, karena pada dasarnya semua agama mengajarkan untuk berbuat baik. Suatu hari, teman sepupu saya yang masih SMP meninggal karena kecelakaan motor. Hal itu mulai membuat saya merasa was-was: jikalau saya mati, saya akan pergi ke mana? Lalu, kakek saya juga meninggal, sehingga pertanyaan itu muncul lagi. Perasaan takut mulai menggerogoti hidup saya: ke mana perginya saya setelah meninggal? Saya tidak punya kepastian. Namun ketakutan ini saya simpan dan tutupi dengan cara rajin belajar dan menjadi orang 'baik'.


TUHAN MULAI MENARIK PERHATIAN SAYA

Awal 1984, saya pergi ke Jakarta untuk mengurus VISA kuliah ke Australia. Saat itu pihak kedutaan sudah tidak lagi mengeluarkan VISA, karena kuota penerima VISA bagi pelajar Indonesia sudah mencapai batas. Mendengar kabar itu, saya sedih sekali. Karena itu, saya memberanikan diri menulis surat kepada Kedutaan Australia di Jakarta. Saya menerangkan bahwa saya bermimpi untuk melanjutkan pendidikan ke Australia dan mempersiapkan diri dengan serius untuk ke sana dengan mengikuti kursus Bahasa Inggris yang dikelola oleh Australia di Jakarta. Tetapi saya sungguh kecewa karena VISA saya ditolak. Beberapa hari kemudian, saya dipanggil, diwawancara, sekaligus diberi VISA. Itulah keajaiban. Tetapi saya berpikir bahwa itu adalah sekedar kebetulan dan bukan karena Tuhan.
Tiba di Sydney sekitar bulan Maret 1984, saya mempersiapkan diri masuk ke universitas dengan mengambil matriculation course di Sydney College. Pada masa itulah saudara sepupu saya Wanto ( sekarang pemimpin jemaat Abbalove Ekklesia) bertobat dan percaya pada Yesus. Ia mulai bersaksi dan bercerita tentang ibadah di gerejanya, di mana ada orang yang berbahasa Roh. Hal ini menarik saya karena saya orang yang logis sekaligus senang yang namanya mujizat. Tetapi sebenarnya saya anti orang Kristen sebab saya mempunyai image yang jelek tentang orang Kristen. Pernah saya tanya teman SMA saya, "Mengapa ke gereja?" Teman saya menjawab, "Mau cuci mata." Artinya, mencari wanita cantik di gereja. Mereka juga sering menyontek dari saya ketika ulangan. Jadi saya merasa mereka tidak lebih baik daripada saya. Saya juga pernah sakit hati dengan wali kelas saya yang pernah menampar saya di depan kelas.
Selain itu, saya juga agak sombong untuk menginjakkan kaki saya ke tempat yang namanya gereja. Tetapi Wanto terus-menerus bersaksi dan juga bercerita tentang ada orang yang bisa bernubuat. Itu yang menarik perhatian saya. Apalagi ia menceritakan betapa indahnya fellowship sesudah ibadah minggu, di mana orang-orang dapat minum teh/kopi dan makan snack bersama-sama. Akhirnya saya pun mengikuti dia ke gereja. Waktu itu kalau tidak salah sekitar Agustus 1984. Di sana saya merasa asing dan agak sulit mengikuti lagu-lagu yang dinyanyikan. Lalu ada orang berbahasa Roh. Saya coba perhatikan suaranya: apakah ini hafalan atau ......? Namun ketika jemaat menyembah, saya merasa merinding karena ada sesuatu yang lain, yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Tuhan bisa terasa kehadirannya. Kemudian saya mendengar seseorang bernubuat. Saya sudah lupa isinya, tapi ada suatu kata-kata yang saya tidak lupa, "Aku Tuhanmu hadir di tempat ini, dan Aku mengasihi engkau." Di situlah hati saya terbuka. Tanpa dipimpin oleh siapapun, saya berdoa, "Tuhan, ampunilah dosa saya. Saya orang berdosa. Sekarang saya percaya Engkau sebagai Tuhan dan Juru Selamat saya." Saya mengalami kebenaran dalam 1 Korintus 14:24-25, "Tetapi kalau semua bernubuat, lalu masuk orang yang tidak beriman atau orang baru, ia akan diyakinkan oleh semua dan diselidiki oleh semua; segala rahasia yang terkandung di dalam hatinya akan menjadi nyata, sehingga ia akan sujud menyembah Allah dan mengaku: 'Sungguh, Allah ada di tengah-tengah kamu.'"
Setelah berdoa, saya merasa bahwa semua dosa saya yang berton-ton itu telah diangkat Tuhan. Ia menyucikan hati saya saat itu. Hidup saya berubah dan saya tidak takut mati lagi. Ada sukacita yang begitu besar di hati saya karena menemukan Tuhan. Sebelum kenal Tuhan, saya menyimpan ketidaksukaan terhadap orang-orang Batak. Tetapi Tuhan mengubah semuanya sehingga saya mengasihi mereka. Tuhan mengubah saya, orang yang egois, menjadi orang yang memberi dan mau melayani. Hal ini membuat dua teman SMA saya yang sekarang berjemaat di Abbalove Pluit merasa kaget, karena mereka tahu bahwa saya dahulu anti orang Kristen, namun sekarang malah menjadi pelayan Tuhan.


TUHAN BEKERJA LEWAT DOA & FIRMANNYA

Setelah percaya Yesus, beberapa bulan kemudian saya menerima surat dari Taiwan, yang dikirim oleh teman SMA saya yang bernama Ester. Ternyata ia sudah mendoakan saya selama 2 tahun agar saya percaya kepada Yesus. Kejadian ini mengingatkan saya pada ayat di dalam Yohanes 6:65, "Tidak ada seorangpun dapat datang kepadaKu, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya..." Ternyata saya sudah dipilih oleh Tuhan sejak semula. Dan lewat doa teman SMA saya ini, Tuhan mempersiapkan hati saya menjadi tanah yang subur. Karena, sebenarnya kejadian saya bersekolah di Sekolah Kristen Methodis selama 12 tahun itu bukanlah suatu kebetulan. Sekalipun waktu itu saya menolak Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, FirmanNya yang saya dapatkan di dalam pelajaran agama Kristen di sekolah menjadi suatu benih dalam hati saya. Benih ini kemudian bertumbuh pada waktunya. Jadi saya percaya Firman Tuhan yang keluar tidak akan kembali dengan sia-sia (Yesaya 55:11).


TUNTUNAN TUHAN SELANJUTNYA

Setelah menerima Yesus, saya selalu rindu untuk menghadiri acara Bible Study pada setiap Jumat malam di gereja. Ada kehausan untuk mengenal Yesus melalui Firman. Memang hidup saya benar-benar berubah. Tiap hari Jumat, saya menghadiri Bible Study dan menyanyi. Lagu kesukaan saya adalah Seek Ye First The Kingdom of God (Matius 6:33, "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu."). Tanpa saya sadari, ayat ini menjadi prinsip hidup saya sampai hari ini. Kalau hari ini saya ada dan dipercayakan banyak hal, dan Tuhan memelihara serta mencukupkan hidup saya, hal ini membuktikan bahwa Tuhan menuntun hidup saya melalui kebenaran ayat ini. Prinsip tuntunan Tuhan berikutnya adalah karena saya terus setia untuk melakukan perkara kecil (Lukas 16:10, "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.") Waktu itu saya tidak tahu banyak Firman, saya belum dewasa rohani, tetapi saya senantiasa menyediakan diri untuk melakukan hal-hal kecil, seperti bermain gitar (walau saya hanya bisa sedikit-sedikit), mengatur sound, membereskan bangku gereja, menyapu dan mengepel. Semua ini saya lakukan dengan sukacita. Saya setia untuk melakukan apa saja yang diminta untuk saya lakukan. Memang saya adalah jenis orang yang senang melakukan, tipe 'doer'. Tanpa sadar, kesetiaan saya pada perkara-perkara kecil membawa saya kepada perkara-perkara besar. Saya mulai dipercayakan untuk memimpin puji-pujian dan membagikan Firman Tuhan, sampai menjadi ketua kaum muda di sebuah gereja di Sydney. Inilah proses Tuhan sehingga saya bertumbuh.


KEMBALI KE JAKARTA

Setelah selesai kuliah pada tahun 1990 di New South Wales University jurusan Civil Engineering (Teknik Sipil), saya kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Abbalove Ministries (waktu itu masih disebut gereja Speed) karena saya mengenal penatua waktu mereka datang ke Sydney untuk melayani. Ada pelajaran yang sangat berharga yang saya dapatkan ketika saya hadir di ibadah di Speed Plaza. Selesai ibadah saya duduk di luar, tempat orang-orang berjualan makanan (sekarang samping luar kantin). Saya merasa sendirian, tidak memiliki teman dan hati saya kosong dan kering. Jika ketika di Sydney saya merasa bergairah dan bertumbuh, mengapa sekarang tidak? Saat itulah, Tuhan berbicara dalam hati saya, bahwa sebenarnya hidup saya dibangun di atas pasir, bukan di atas batu karang yang teguh (Matius 7:24-27).
Apakah pasir itu? Pasir dalam hidup saya adalah pelayanan saya di Sydney. Saya hany abanyak berdoa dan menggali Firman Tuhan ketika saya mau pelayanan. Dan iman saya bertumbuh karena tanggung jawab pelayanan. Ketika pelayanan saya diambil, artinya saya tidak lagi aktif melayani di Jakarta, saya menjadi lemah. Sesungguhnya ada hal yang saya abaikan, yaitu persekutuan saya dengan Tuhan: disiplin bersaat teduh dan hati bagi jiwa-jiwa yang terhilang. Itulah batu karang saya yang saya lalaikan. Pengalaman kesendirian dan tidak dikenal oleh banyak orang di Speed mendatangkan kebaikan buat saya. Tuhan sedang membongkar pondasi lama dan menggantikannya dengan pondasi baru yang benar supaya saya bisa dipercayakan perkara-perkara besar.



MELEWATI PROSES BERSAMA TUHAN

Saya mengikuti proses dari awal lagi menjadi pekerja di Speed. Ini adalah ujian kerendahan hati saya. Saya mengikuti School of Workers / SOW (sekarang SPK). Saya diajak untuk bergabung dalam tim materi dengan menerjemahkan materi-materi SOW dari Ben Baluyot (dari Filipina). Suatu hari, saya ditanya oleh penatua, apakah saya bersedia menjadi Gembala Area / GA di Abbalove Jakarta Selatan (waktu itu di Bona Indah) bersama Bp. Agus Sugianto dan Bp. Hindra. Saya berpikir bahwa tugas ini sulit sekali, karena saya merasa tidak mempunyai karakteristik seorang gembala: peduli, senang berinteraksi dengan orang lain, ramah, dsb. Sebenarnya saya mau menolak. Tetapi Tuhan berbicara lewat peristiwa percakapan Yesus dengan Petrus di pantai (Yohanes 21:15-17). Tuhan Yesus bertanya pada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Dan Petrus pun menjawab bahwa ia mengasihi Tuhan. Lalu, Tuhan Yesus menyuruhnya untuk menggembalakan domba-dombaNya. Jadi, arti menggembalakan tidak berkaitan dengan temperamen tertentu, tetapi dari hati yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan. Petrus, seorang yg kasar, bicara blak2an, bukan tipe gembala, tetapi Tuhan menyuruhnya menggembalakan domba sebagai bukti bahwa ia mengasihi Tuhan. Hal ini meneguhkan saya untuk menjadi Gembala Area.
Ada sebuah statement yang menarik. Seorang hamba Tuhan berkata, "Orang-orang yang berhasil adalah mereka yang melakukan hal-hal yang tidak disukainya." Ketika saya lakukan hal-hal yang tidak saya sukai sebagai gembala, seperti tersenyum, beramah-tamah, peduli pada orang lain, hal-hal ini membuat saya bertumbuh. Hal yang menarik adalah saya bertumbuh karena melakukan hal-hal yang saya tidak sukai. Jadi benar yang diajarkan di ESC. Memang ada waktu untuk melakukan apa yang disukai, tapi juga ada waktu untuk melakukan yang tidak disukai. Kuncinya adalah ketaatan terhadap otoritas di atas kita. Otoritas adalah saluran pengurapan Tuhan atas hidup kita. Saya menundukkan diri kepada otoritas penatua saat itu, walau ada hal-hal yang tidak saya mengerti.


FROM "DOER" TO "MANAGER"

Selama proses menjadi GA, saya belajar melakukan fungsi manager: mengatur, membenahi, belajar untuk me-manage. Dalam proses ini saya gagal 2 kali dalam merintis komsel. Komsel yang saya rintis selama 2 tahun akhirnya tutup. Tetapi saya mau tetap setia untuk menjadi orang yang sipercayakan Tuhan. Sampai pada satu titik, saya melihat 40 orang dibaptis dalam Champion Gathering / CG, mereka dari sebuah keluarga besar suku Batak di daerah Kebagusan, Lenteng Agung. Itulah yang menghibur hati saya. Ternyata Tuhan melihat hati yang mau setia melewati proses kegagalan dan Ia akan menghibur orang tersebut dengan menjadikannya berhasil pada waktuNya. Bagi saya, yang penting "Seorang pemenang bukanlah orang yang tidak pernah gagal, tetapi orang yang tidak pernah berhenti mencoba", tentunya bersama dengan Tuhan.



FROM "MANAGER" TO "LEADER"

Ketika mengikuti Konferensi Gereja Sel di Wisma Kinasih pada tahun 1998, saya mengalami titik balik. Sejak kecil sampai waktu itu, asya merasa diri saya adalah seorang second man, lebih senang dipimpin daripada memimpin. Waktu itu seorang hamba Tuhan berkotbah tentang Matius 16:13-20, bahwa Petrus bisa tahu Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup, karena pewahyuan dari Bapa di surga. Ketika altar call, saya maju meminta wahyu dari Tuhan tentang diri saya. Saya tanya Tuhan, "Siapakah saya sebenarnya?" Lalu di dalam hati saya muncul sebuah suara, "You are a leader." Dan itu adalah suara Tuhan yang mengubah hidup saya. Saya pun menyadari bahwa Tuhan mau saya bertumbuh dalam kepemimpinan.
Ada 2 orang yang menolong saya dalam proses ini. Yang pertama adalah istri saya, di mana ia senantiasa berkata, "Jika mau menjadi pemimpin, milikilah mental pemimpin, yaitu berani sulit, berani susah, berani ambil tanggung jawab lebih besar, dan berani ambil resiko." Orang yang kedua adalah penatua, di mana ia memanggil saya dan memberikan sebuah pertanyaan yang sangat menusuk hati saya, "Achang (ia memanggil saya Achang), apakah kamu sudah maksimal dalam hidup kamu? Jika mau maksimal, jangan sekedar melayani dengan sisa waktu yang ada, tetapi berilah dirimu sepenuh waktu untuk melayani di kantor gereja." Tahun 2002 saya dipercayakan memimpin Departemen Penggembalaan. Saya bersyukur ada di tengah-tengah kepemimpinan Abbalove, di mana saya belajar banyak hal dari rekan-rekan pemimpin yang ada, terutama cara mengatasi masalah, bagaimana menyelesaikan konflik, melihat ke depan dan memperhatikan kepentingan banyak orang.


Perjalanan panggilan Tuhan dalam hidup saya melewati proses tahap demi tahap. Dalam menjalani seluruh proses ini, harus ada iman untuk mempercayai pimpinan Tuhan. Bagi saya, tidak pernah ada rasa penyesalan sedikit pun karena menyerahkan hidup menjadi staf pengabdi dan bekerja sepenuh waktu di kantor gereja sampai hari ini. Hanya karena saya utamakan Yesus, lalu mentaati Firman Tuhan, lakukan apa yang Dia mau, maka saya melihat banyak hal yang tidak pernah saya mimpikan terjadi. Dari seorang anak sekolah yang menolak Yesus, sampai dia mendapatkan kasih karunia dan diselamatkan Tuhan, bersedia melakukan hal-hal kecil dan mengikut Yesus dengan segenap hati, lalu menjadi hambaNya sampai hari ini. Bagi Dialah segala kemuliaan.

(Sumarno Kosasih)
Selengkapnya...

Rabu, Juli 23, 2008

Perjalanan Panggilan Hidup

Saya ingin bercerita tentang kaitan panggilan kita hari ini dengan orang-orang yang pernah menjadi mentor dalam hidup kita. Firman Tuhan menunjukkan bahwa orang yang mementor kita adalah orang-orang yang membawa pengurapan yang menentukan bagi hidup pelayanan kita kelak, contohnya: Elia membawa pengurapan bagi hidup Elisa, Musa membawa pengurapan bagi hidup Yosua, Yesus pun membawa pengurapan bagi hidup murid-muridNya sehingga mereka menjadi para rasul yang pertama.

Sekitar tahun 1978-1979, saya sedang di tengah rasa frustrasi terhadap apa yang tadinya saya yakini, yaitu kekristenan. Saya menjadi orang yang penuh dengan keragu-raguan di dalam iman. Pada masa-masa seperti itu, saya bertemu dengan seorang teman yang aktif melayani Tuhan, dia mengajak saya untuk menghadiri sebuah rangkaian Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Di KKR tersebut, saya berjumpa dengan seorang hamba Tuhan yang telah berusia 70-an tahun, namun masih sangat berapi-api dalam melayani Tuhan. Hamba Tuhan ini bernama Karl Hoekendijk, seorang hamba Tuhan yang sangat diurapi Tuhan dalam pelayanan profetik dan healing. Tanpa sadar, selama mengikuti KKR tersebut, saya melihat banyak mujizat yang Tuhan lakukan. Ada orang yang tidak memiliki bola mata, namun ketika didoakan ia memperoleh bola mata baru dan bisa melihat dengan normal; ada juga yang lumpuh menjadi bisa berjalan dengan baik setelah didoakan; dan banyak mujizat lainnya. Kemudian Bp. Karl Hoekendijk bertanya, "Siapa yang mau dipakai Tuhan?". Pertanyaan ini berbicara secara khusus di hati saya, maka saya pun maju untuk didoakan. Bp. Karl menumpangkan tangannya atas saya dan mendoakan saya. Saat itu saya dipenuhi oleh Roh Kudus dan pengurapan Tuhan turun atas saya. Saya pun mengambil komitmen untuk memberikan diri saya dipakai Tuhan. Komitmen ini Tuhan perhatikan dan Ia gunakan untuk memakai hidup saya melayani Dia.

Sejak saat itu, kerinduan untuk berdoa besar sekali dalam diri saya. Saya mulai belajar melatih diri saya menggunakan pengurapan yang Tuhan sudah berikan. Pertama kalinya, saya mendoakan adik saya sendiri di rumah. Saya sangat bersukacita ketika dia dipenuhi oleh Roh Kudus saat saya doakan. Selain itu, saya mulai mendapatkan banyak penglihatan dari Tuhan.

Hari ini saya sedang menjalani panggilan hidup saya. Setelah cukup lama seolah-olah "terlupakan" di dalam panggilan ini, saya menemukan kembali pengurapan profetik dan healing yang pernah saya terima dahulu. Pengurapan ini saya terima melalui orang yang pertama kali mendoakan saya, Bp. Karl Hoekendijk. Pengurapan semacam ini adalah pengurapan yang tidak akan pernah hilang, dan harus terus kita kembangkan dengan rajin, agar semakin hari semakin nyata dalam hidup kita. Saya sendiri juga melakukannya, saya menjadi makin beriman, dan saya percaya Tuhan akan terus memakai saya bagi orang-orang yang membutuhkan kuasa profetik dan healing. Wahyu 12:10-12 berkata bahwa sekarang telah tiba waktunya, bukan saja keselamatan yang datang kepada kita, tapi juga kuasa. Inilah janji Tuhan yang terus saya pegang dalam hidup pelayanan saya. Salah satu wujudnya adalah melalui School of Believers (SOB) yang telah kita lakukan, ini untuk melatih orang-orang dalam hal pelayanan kuasa. Markus 16:17-18 juga menyebutkan mengenai tanda-tanda yang akan menyertai orang-orang yang percaya, jadi memang inilah pengurapan yang Tuhan sudah berikan bagi setiap kita.

Saat saya pertama kali mengambil keputusan untuk memberikan diri saya dipakai oleh Tuhan, saat itulah pengurapanNya turun atas saya. Sampai hari ini, pengurapan yang sama terus memperlengkapi saya untuk makin maksimal dalam melayani Dia. Kesempatan dan kehormatan untuk saya melayani Tuhan ini saya berikan bukan saja bagi gereja kita, namun juga untuk seluruh gereja-gereja lain yang membutuhkannya. Kita pun harus demikian, carilah sebanyak mungkin orang-orang yang memiliki pengurapan khusus dari Tuhan, untuk mementor hidup kita. Di sinilah Tuhan akan menurunkan pengurapanNya atas hidup kita, karena pengurapan itu diteruskan dari sang mentor kepada kita. Tuhan akan menuntun kita dalam panggilan hidup kita, dan Tuhan akan terus memperlengkapi kita dengan pengurapan itu. Inilah yang akan membuat kita makin maksimal dalam hidup dan pelayanan kita menjalani panggilan Tuhan. Tuhan memberkati.

Sofjan Sutedja Selengkapnya...